1. Pendahuluan
Menurut Lazarowitz & Tamir
(1994), kurikulum berbasis inkuiri banyak mengalokasikan waktunya, sekitar 50%
waktu yang tersedia untuk kegiatan laboratorium. Kurikulum Fisika SMP dan SMA
yang pernah diberlakukan di Indonesia, sejak Kurikulum 1975, sebetulnya sudah
menekankan kegiatan laboratorium, tetapi dalam pelaksanaannya, seperti
ditunjukkan oleh hasil evaluasi Balitbang Depdiknas (Puskur, 2001), selama ini
lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep (sains sebagai
produk), dan kurang menekankan pada penguasaan kemampuan dasar.
Sejak tahun pelajaran 2002/2003,
sesuai dengan Keputusan Mendiknas Nomor 017/U/2003, praktikum fisika diujikan
dalam ujian akhir yang naskah soalnya disiapkan oleh pihak sekolah. Pada saat ini keadaan pun mulai berubah, praktikum fisika mulai
dilaksanakan di sekolah-sekolah. Hasil telaah terhadap tiga petunjuk praktikum
yang dipakai di tiga sekolah yang berbeda menunjukkan bahwa kegiatan praktikum
yang dikembangkan masih bersifat verifikasi, yaitu membuktikan konsep atau
prinsip yang telah dibahas sebelumnya.
Kegiatan
laboratorium yang bersifat verifikasi itu, menurut Heuvelen (2001) dan
McDermott et al. (2000), tidak banyak membantu dalam mengembangkan
kemampuan berpikir. Lebih lanjut, McDermott et al. (1996a; 1996b)
menunjukkan bahwa kegiatan laboratorium yang mestinya dilakukan adalah kegiatan
laboratorium inkuiri seperti yang dilakukan oleh ilmuwan ketika mengungkap
gejala alam. Menurut Lawson (1995) kegiatan laboratorium inkuiri memungkinkan
siswa untuk: (1) mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, (2) merumuskan
hipotesis, (3) mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, (4)
mengorganisasikan dan menganalisis data, (5) menarik kesimpulan dan
mengkomunikasikannya.
Kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian sampai tahun
2004, ada petunjuk bahwa kegiatan laboratorium semacam itu belum terlaksana
(Nur, 2004).
Ada dugaan bahwa kemampuan guru
dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri masih rendah, sehingga mereka
tidak melaksanakan kegiatan itu dalam pembelajaran fisika. Dugaan itu didukung
hasil penelitian Balitbang Depdiknas (Rustad dkk., 2004) yang menunjukkan bahwa
sekitar 51% guru IPA SMP dan sekitar 43% guru fisika SMA di Indonesia tidak
dapat menggunakan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolahnya,
akibatnya, tingkat pemanfaatan alat-alat itu dalam pembelajaran cenderung
rendah.
Selain
itu, studi kebijakan Ditdikmenum (1994) menemukan bahwa penguasaan keterampilan
proses guru rendah. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa keterampilan proses
terpadu seperti mengidentifikasi variabel kontrol, menganalisis eksperimen, dan
menyusun rancangan eksperimen terasa asing bagi hampir seluruh siswa maupun guru.
Bagaimana guru akan
menyelenggarakan kegiatan laboratorium inkuiri bila mereka belum menguasai
keterampilan yang diperlukannya. Sebaliknya, guru yang memiliki kemampuan
merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri pun belum tentu
melaksanakannya apabila tidak ada motivasi yang dapat mempengaruhinya. Jadi
paling tidak ada dua faktor utama yang dapat mempengaruhi guru untuk
mengembangkan kegiatan laboratorium inkuiri, yaitu faktor kemampuan dan
kemauan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan fisika
paling tidak diperlukan dua hal seperti berikut.
Pertama, peningkatan mutu guru, terutama dalam hal berkaitan dengan
peningkatan kemampuan merancang dan menyelenggarakan kegiatan laboratorium
berbasis inkuiri. Kedua, penciptaan kondisi yang mampu meningkatkan dan menjaga
motivasi guru agar selalu mengupayakan pembelajaran fisika yang bermutu.
Bertolak dari
dua hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada masalah peningkatan mutu guru
fisika, dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa calon guru (pre-service)
dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Upaya ini penting untuk
dilakukan, karena salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan laboratorium
adalah guru (Lazarowitz dan Tamir, 1994), dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan guru dalam mengelola laboratorium berpengaruh positif terhadap
frekuensi penggunaan laboratorium (Rustad dkk., 2004; Sriyono dan Hamid, 2003).
2. Metode
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Negeri Semarang. Subjek
penelitian adalah semua mahasiswa semester lima Program Studi S1 Pendidikan
Fisika peserta mata kuliah Laboratorium Fisika Pendidikan pada tahun akademik
2004/2005. Subjek penelitian berjumlah 40 mahasiswa, terdiri atas 12 laki-laki dan
28 perempuan.
Kemampuan merancang kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri
dijabarkan menjadi tujuh aspek kemampuan pendukung. Penjabaran itu dilakukan
dengan cara mengidentifikasi unjuk kerja yang dianggap terbaik untuk mendukung
kemampuan dalam merancang kegiatan laboratorium berbasis inkuiri. Tabel 1 menunjukkan aspek kemampuan yang dikembangkan, indikator, dan instrumen evaluasinya.
Tabel 1. Komponen Kemampuan yang Dikembangkan
No
|
Kemampuan
|
Indikator
|
Instrumen Evaluasi
|
1
|
Menentukan tujuan kegiatan laboratorium
|
1.a
Menetapkan kemampuan yang diharapkan dicapai siswa
1.b
Menetapkan indikator
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
2
|
Menentukan jenis percobaan yang
sesuai dengan tujuan
|
2.a
Mengidentifikasi jenis-jenis percobaan kemudian memilih percob yang paling
sesuai
2.b Mengungkap dasar teori percobaan
2.c Mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan percob yang dipilih
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
3
|
Mengenali alat-alat laboratorium
|
3.a Mengenali alat dan bahan percobaan
3.b Menentukan spesifikasi alat dan bahan
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
4
|
Mengenali rangkaian percob dan diagramnya
|
4.a Mengenali
simbol alat dan bahan lab
4.b
Menggambarkan diagram rangkaian percobaan
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
5
|
Merencanakan prosedur percob
|
5.a
Mengungkap gejala dan merumuskan masalah
5.b
Mengajukan hipotesis
5.c Merancang prosedur percob untuk menguji hipotesis dan memprediksikan
hasilnya
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
6
|
Menyusun LKS berbasis
inkuiri
|
6.a Membuat pertanyaan-pertanyaan penuntun bagi siswa untuk melakukan
kegiatan lab inkuiri
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
7
|
Merancang alat evaluasi kegiatan laboratorium
|
7.a
Membuat kisi-kisi evaluasi
7.b Menentukan teknik evaluasi
7.c Menyusun instrumen evaluasi
|
- Lembar penyekoran hasil rancangan
|
Peningkatan komponen kemampuan-kemampuan yang dikembangkan pada Tabel 1 di
atas, dikategorikan berdasarkan gain
score ternomalisasi (gn )
yang dikembangkan oleh Savinainen &
Scott (2002) yang dirumusakan sebagai berikut.
Dengan gn
= gain score ternormalisasi; Xpost = skor post-test : Xpre=
skor pre-test; Xmax = skor
maksimum. Kategori kualitas gn adalah sebagai berikut.
Tinggi : gn > 0,7
Sedang: 0,3 < gn
< 0,7
Rendah gn < 0,3
Dalam rangka mencapai ketujuh aspek kemampuan dengan indikator yang telah
ditetapkan pada Tabel 1, dirancang strategi perkuliahan. Dari kajian literatur diperoleh informasi bahwa menurut teori pemodelan
tingkah laku Bandura (1977), sebagian besar manusia belajar dilakukan dengan
cara mengamati dan mengingat secara selektif tingkah laku orang lain.
Implikasinya, untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan merancang kegiatan
laboratorium inkuiri diperlukan kegiatan yang dapat dijadikan contoh bagi
mereka kelak kalau sudah menjadi guru. Berdasarkan
pertimbangan itu, perkuliahan Laboratorium Fisika Pendidikan diselenggarakan
dengan struktur terdiri dari tiga tahap, yaitu: pemodelan, perancangan,
implementasi.
Pada tahap pemodelan, mahasiswa mengerjakan dua contoh kegiatan
laboratorium inkuiri dipandu dengan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) yang dirancang
oleh peneliti. Uji coba LKM dilakukan secara bertingkat, yaitu pada individu,
kelompok kecil (6 mahasiswa), dan
kelas.
Pada tahap perancangan, mahasiswa secara individual membuat dua rancangan kegiatan
laboratorium inkuiri, yang terdiri dari tiga perangkat yaitu: Lembar Panduan
untuk Guru (LPG), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Lembar Evaluasi. Mahasiswa juga
mengujicobakan sendiri kegiatan laboratorium yang dirancangnya. Semua perangkat
kegiatan laboratorium yang disusun oleh mahasiswa itu dievaluasi menggunakan
instrumen lembar penyekoran yang dikembangkan dengan mengacu pada aspek-aspek
kemampuan dan indikatornya (Tabel 1). Selain itu, data atau informasi pendukung
diungkap melalui wawancara dan pengamatan yang dilakukan selama perkuliahan.
Pada tahap implementasi, mahasiswa mengimplementasikan hasil rancangannya
dalam simulasi pembelajaran, dengan mahasiswa lain berperan sebagai siswa.
Semua mahasiswa diwajibkan mengimplementasikan hasil rancangannnya, tetapi pada
tahap ini tidak dilakukan penilaian.
3.1 Pelaksanaan Contoh Kegiatan Laboratorium
Inkuiri
Uji coba LKM pada individu dan kelompok kecil (6 mahasiswa) menghasilkan
masukan sebagai berikut. Pertama, uji coba pada individu menghasilkan masukan
terutama tentang keterbacaan LKM. Masukan itu, kemudian ditindaklanjuti dengan
perbaikan redaksional. Kedua, hasil uji coba pada individu dan kelompok kecil
menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan pada LKM sudah dapat membimbing
mahasiswa untuk merumuskan masalah dan mengajukan hipotesisnya, tetapi mereka
belum dapat merancang sendiri prosedur percobaan untuk menguji hipotesis.
Masukan tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan merinci pertanyaan-pertanyaan
penuntun sehingga LKM menjadi lebih bersifat guided inquiry.
Walaupun LKM diperbaiki menjadi lebih rinci, tetapi agar tidak menutup
kesempatan bagi mahasiswa yang mampu mengerjakan masalah yang bersifat terbuka,
maka akhirnya setiap LKM dibuat terdiri atas dua bagian utama. Bagian pertama, cenderung open inquiry dan bagian kedua, cenderung guided
inquiry.
LKM bagian pertama, diawali dengan kegiatan untuk menunjukkan suatu gejala
fisika yang menuntut mahasiswa untuk menggali sendiri pertanyaan. Jika tidak
memungkinkan, kegiatan awal dilakukan dengan cara dosen memunculkan pertanyaan
yang membangkitkan keinginan mahasiswa untuk menyelidiki jawabannya.
Selanjutnya, mahasiswa dibimbing melalui pertanyaan-pertanyaan dalam LKM untuk
merencanakan prosedur percobaan yang meliputi langkah: memikirkan hipotesis
dari setiap pertanyaan, memikirkan percobaan untuk menguji setiap hipotesis
(termasuk mengidentifikasikan variabel dan langkah kerja untuk pengumpulan
data), dan memperkirakan hasil yang diharapkan jika percobaan itu
direalisasikan.
Jika mahasiswa dapat menjawab semua pertanyaan itu, maka mereka dapat
melanjutkan percobaan secara berkelompok (2-3 mahasiswa) dengan prosedur yang
telah dirancangnya sendiri. Mahasiswa yang tidak dapat menjawabnya secara
lancar dianjurkan melanjutkan percobaan menggunakan LKM bagian kedua yang
berisi pertanyaan-pertanyaan penuntun yang lebih rinci.
Ada dua contoh kegiatan laboratorium inkuiri yang dikerjakan oleh setiap
mahasiswa. Pada contoh pertama, karena rata-rata mahasiswa kurang lancar dalam
merencanakan prosedur percobaan, maka semua mahasiswa mengerjakan percobaan
menggunakan petunjuk pada LKM bagian kedua, sedangkan pada contoh kedua mereka
melaksanakan percobaan menggunakan prosedur
yang direncanakannya sendiri.
3.2 Hasil Rancangan Kegiatan Laboratorium Inkuiri
Setelah mengerjakan dua contoh percobaan fisika berbasis inkuiri, tahap
berikutnya mahasiswa secara individual menyusun dua rancangan kegiatan
laboratorium inkuiri dan mengujicobakannya sendiri, kemudian mengimplementasikan
rancangan itu kepada temannya. Hasil rancangan itu dievaluasi dengan mengacu
pada tujuh aspek kemampuan yang diperlukan dalam merancang kegiatan
laboratorium inkuiri. Tabel 2 memuat skor rata-rata
kelas untuk setiap aspek kemampuan itu.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada hasil rancangan pertama, kemampuan merancang
alat evaluasi kegiatan laboratorium masih rendah. Sebagian besar mahasiswa
membuat butir-butir evaluasi tidak diawali dengan menyusun kisi-kisi.
Akibatnya, ada beberapa tujuan atau kompetensi yang diharapkan dicapai siswa
terlewat tidak dievaluasi, dan ada juga butir-butir evaluasi yang tidak
mengevaluasi kompetensi yang diharapkan. Pada enam aspek kemampuan lainnya,
yaitu (1) menentukan tujuan kegiatan laboratorium, (2) menentukan jenis percobaan,
(3) menentukan alat dan bahan laboratorium, (4) menentukan rangkaian percobaan
dan menggambarkan diagramnya, (5) merencanakan sendiri prosedur percobaan, dan
(6) menyusun LKS berbasis inkuiri, sudah menunjukkan skor yang cukup baik.
Tabel
2.Kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri
No
|
Aspek Kemampuan yang Diskor
|
Skor Rancangan
|
g
|
gn
(%)
|
t
|
|
I
|
II
|
|||||
1
2
3
4
5
6
7
|
Menentukan tujuan penyelenggaraan kegiatan laboratorium bagi siswa
Mengidentifikasi jenis-jenis percobaan, dasar teorinya, dan memilih jenis
percob yang sesuai dengan tujuan
Menentukan alat dan bahan lab sesuai spesifikasi yang dibutuhkan
Menentukan rangkaian percob dan diagramnya
Merencanakan prosedur percobaan
Menyusun petunjuk kegiatan lab berbentuk LKS inkuiri
Merancang alat evaluasi kegiatan laboratorium
|
71
60
71
76
60
81
47
|
88
75
82
84
71
85
71
|
17
15
11
8
11
4
24
|
58
39
38
35
28
19
45
|
9*)
14*)
10*)
4*)
10*)
4*)
22*)
|
Rata-rata keseluruhan
Simpangan baku
|
66
8
|
79
7
|
13
4
|
39
11
|
21*)
|
*) signifikan pada α < 0,01
Secara keseluruhan, pada rancangan pertama yang disusun setelah mahasiswa
mengerjakan contoh percobaan fisika berbasis inkuiri, skor rata-rata kelasnya sudah
cukup baik, yaitu sekitar 66. Hasil tersebut menjadi indikator bahwa dua contoh
percobaan inkuiri yang telah dikerjakannya dapat membekali kemampuan mahasiswa
dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Interpretasi itu didukung oleh
pendapat sebagian besar mahasiswa yang menyatakan bahwa pengalaman mengerjakan
contoh sangat membantu dalam proses pembuatan rancangan.
Pada rancangan kedua, skor rata-rata kelas meningkat secara signifikan pada
taraf signifikansi α < 0,01 dengan gain ternormalisasi sebesar 39% yang
termasuk dalam kategori sedang (Savinainen & Scott, 2002). Peningkatan itu
menunjukkan bahwa penerapan perkuliahan yang dirancang pada penelitian ini
dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam merancang kegiatan laboratorium
fisika berbasis inkuiri.
Informasi lain menunjukkan bahwa pada awal perkuliahan semua mahasiswa
menyatakan belum pernah mengerjakan kegiatan laboratorium inkuiri, dan sebagian
besar (sekitar 80%) mahasiswa menyatakan tertarik untuk mempelajari kegiatan
laboratorium inkuiri setelah kegiatan itu diperkenalkan kepada mereka pada
tahap pemodelan. Dengan demikian, persoalan yang harus terus dipikirkan dari
tahun ke tahun pada setiap penerapan perkuliahan ini adalah bagaimana
memperbarui contoh kegiatan laboratorium inkuiri yang akan diperkenalkan pada
tahap pemodelan agar mahasiswa merasa terlibat dalam kegiatan inkuiri ilmiah,
sehingga mereka dapat merasakan sendiri keunggulan dari kegiatan laboratorium
itu. Selain itu, persoalan yang harus ditindaklanjuti adalah bagaimana memperkenalkan
kegiatan laboratorium inkuiri sedini mungkin.
Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan merancang kegiatan laboratorium
inkuiri diperoleh mahasiswa sejak tahap pemodelan. Pada tahap pemodelan
mahasiswa berkesempatan mengerjakan dua contoh percobaan inkuiri, dilanjutkan
pada tahap perancangan mahasiswa berkesempatan untuk merancang dua kegiatan
laboratorium inkuiri dan mengujicobanya sendiri.
Dalam proses pembuatan rancangan kegiatan laboratorium inkuiri, sebagian
besar (sekitar 85%) mahasiswa melakukannya dengan cara mencari jenis percobaan
terlebih dahulu, kemudian menyesuaikannya dengan tujuan atau kompetensi yang
tercantum pada kurikulum. Sebagian kecil (sekitar 15%) mahasiswa mengawali
kegiatan merancang dengan mempelajari kompetensi yang diharapkan dicapai siswa,
dilanjutkan dengan mengidentifikasi jenis percobaan untuk mencapai kompetensi
itu. Pola yang disebutkan terakhir itu, lebih menuntut mahasiswa untuk berpikir
kreatif dalam mempertanyakan dan mencari jenis percobaan yang paling sesuai serta
menentukan spesifikasi peralatan yang dibutuhkan. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa mahasiswa yang bekerja dengan pola kedua itu umumnya memiliki kebiasaan
bertanya dalam setiap kesempatan berdiskusi
Untuk mengubah kebiasaan berpikir dengan pola pertama menjadi pola kedua
diperlukan latihan. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana membuat program lanjutan yang dapat memotivasi mahasiswa untuk
menerapkan atau mengembangkan kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri
yang telah diperolehnya dari perkuliahan ini.
Keseluruhan pembahasan tadi juga menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan
mahasiswa calon guru dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri sesuai
dengan empat kriteria pemilihan keterampilan yang dikemukakan oleh Reif dan St.
John (Lippmann, 2003). Pertama, kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan
laboratorium inkuiri berguna di masa datang, seperti pada saat pembuatan
skripsi, PPL, dan kelak ketika menjadi guru. Kedua, kemampuan berinkuiri ilmiah
biasa dilakukan oleh ilmuwan. Ketiga, pada awalnya sebagian besar mahasiswa
belum memiliki kemampuan itu. Keempat,
kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri lebih tepat
bila dibelajarkan dalam konteks laboratorium.
4. Penutup
Berdasarkan
pembahasan tadi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Penyelenggaraan model
(contoh) percobaan telah memberikan pengalaman langsung tentang kegiatan
laboratorium fisika berbasis inkuiri bagi mahasiswa calon guru, sehingga
pemahaman mereka tentang hal itu dapat meningkat. Pengalaman langsung itu juga
mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam berlatih merancang kegiatan laboratorium
inkuiri. Desain perkuliahan yang diterapkan pada penelitian ini dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam (1) menentukan tujuan penyelenggaraan
kegiatan laboratorium yang dirancangnya, (2) menentukan jenis percobaan yang
sesuai dengan tujuan, (3) menentukan alat-alat dan bahan-bahan laboratorium
sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan, (4) menentukan rangkaian percobaan
dan menggambarkan diagramnya, (5) merencanakan sendiri prosedur percobaan, (6)
menyusun lembar kegiatan siswa (LKS) berbasis inkuiri, dan (7) merancang
evaluasi kegiatan laboratorium. Penguasaan ketujuh aspek kemampuan itu,
dibutuhkan dalam merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa penerapan perkuliahan Laboratorium
Fisika Pendidikan yang didesain terdiri dari tiga tahap, yaitu pemodelan,
perancangan, dan implementasi, pada penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan
mahasiswa calon guru dalam merancang kegiatan laboratorium fisika berbasis
inkuiri.
Untuk lebih mendukung upaya membekali mahasiswa dengan kemampuan merancang
dan melaksanakan kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri, maka disarankan
kegiatan laboratorium tersebut mulai diperkenalkan kepada mahasiswa pada
perkuliahan Fisika Dasar yang diselenggarakan pada tahun pertama dan
ditindaklanjuti pada mata kuliah lain yang terkait seperti pada mata kuliah
Praktik Pengalaman Lapangan dan Skripsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. New York: Prentice-Hall,
Inc.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (1995). Evaluasi Efektivitas
Pengadaan Alat IPA. Laporan Penelitian. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Heuvelen, A.A. (2001). “Millikan Lecture 1999: The Workplace, Student
Minds, and Physics Learning Systems.” Am. J. Phys. 69(11), 1139-1146.
Jurusan Fisika. (2000). Kurikulum Program Studi
Pendidikan Fisika. Semarang: Jurusan Fisika,
FMIPA, Universitas Negeri Semarang
Lawson, A.E. (1995). Science Teaching and the Development of Thinking.
California: Wadsworth Publishing Company.
Lazarowitz, R. & P. Tamir. (1994). “Research on Using Laboratory Instruction
in Science.” Handbook of Research on Science Teaching and Learning.
Edited by: D. L. Gabel. New York: Macmillan Publishing Company.
Lippmann, R.F. (2003). Students' Understanding
of Measurement and Uncertainty in the Physics Laboratory: Social construction,
underlying concepts, and quantitative analysis. Maryland: Department of Physics, University of
Maryland. Tersedia: http://www.physics.umd.edu/ perg/dissertation/lippmann. html
[25 September 2003].
McDermott, L.C., P.S. Shafer, and M.L. Rosenquist. (1996a). Physics by Inquiry. Volume I. New York: John Wiley &
Sons, Inc.
McDermott, L.C., P.S. Shafer, and M.L. Rosenquist. (1996b). Physics by Inquiry. Volume II. New York: John Wiley &
Sons, Inc.
McDermott, L.C., P.S. Shafer and C.P. Constantinou. (2000). “Preparing teachers to teach physics and physical science by
inquiry.” Phys. Educ. 35(6), 411-416.
Nur, M. (2004.) “Penerapan Ide-ide Inovatif Pendidikan MIPA dalam Seting
Penelitian.” Makalah dipresentasikan pada Seminar Naional
Ditulis oleh: Wiyanto (Jur.
Fisika F.MIPA UNS)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar