Pengembangan Kemampuan Merancang Kegiatan Laboratorium Fisika Berbasis Inkuiri Bagi Mahasiswa Calon Guru

Diposting oleh Unknown

1.  Pendahuluan
            Menurut Lazarowitz & Tamir (1994), kurikulum berbasis inkuiri banyak mengalokasikan waktunya, sekitar 50% waktu yang tersedia untuk kegiatan laboratorium. Kurikulum Fisika SMP dan SMA yang pernah diberlakukan di Indonesia, sejak Kurikulum 1975, sebetulnya sudah menekankan kegiatan laboratorium, tetapi dalam pelaksanaannya, seperti ditunjukkan oleh hasil evaluasi Balitbang Depdiknas (Puskur, 2001), selama ini lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep (sains sebagai produk), dan kurang menekankan pada penguasaan kemampuan dasar. 

            Sejak tahun pelajaran 2002/2003, sesuai dengan Keputusan Mendiknas Nomor 017/U/2003, praktikum fisika diujikan dalam ujian akhir yang naskah soalnya disiapkan oleh pihak sekolah. Pada saat ini keadaan pun mulai berubah, praktikum fisika mulai dilaksanakan di sekolah-sekolah. Hasil telaah terhadap tiga petunjuk praktikum yang dipakai di tiga sekolah yang berbeda menunjukkan bahwa kegiatan praktikum yang dikembangkan masih bersifat verifikasi, yaitu membuktikan konsep atau prinsip yang telah dibahas sebelumnya.

Kegiatan laboratorium yang bersifat verifikasi itu, menurut Heuvelen (2001) dan McDermott et al. (2000), tidak banyak membantu dalam mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih lanjut, McDermott et al. (1996a; 1996b) menunjukkan bahwa kegiatan laboratorium yang mestinya dilakukan adalah kegiatan laboratorium inkuiri seperti yang dilakukan oleh ilmuwan ketika mengungkap gejala alam. Menurut Lawson (1995) kegiatan laboratorium inkuiri memungkinkan siswa untuk: (1) mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3) mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan dan menganalisis data, (5) menarik kesimpulan dan mengkomunikasikannya. 

Kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian sampai tahun 2004, ada petunjuk bahwa kegiatan laboratorium semacam itu belum terlaksana (Nur, 2004).

    Ada dugaan bahwa kemampuan guru dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri masih rendah, sehingga mereka tidak melaksanakan kegiatan itu dalam pembelajaran fisika. Dugaan itu didukung hasil penelitian Balitbang Depdiknas (Rustad dkk., 2004) yang menunjukkan bahwa sekitar 51% guru IPA SMP dan sekitar 43% guru fisika SMA di Indonesia tidak dapat menggunakan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolahnya, akibatnya, tingkat pemanfaatan alat-alat itu dalam pembelajaran cenderung rendah.

            Selain itu, studi kebijakan Ditdikmenum (1994) menemukan bahwa penguasaan keterampilan proses guru rendah. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa keterampilan proses terpadu seperti mengidentifikasi variabel kontrol, menganalisis eksperimen, dan menyusun rancangan eksperimen terasa asing bagi hampir seluruh siswa maupun guru.

    Bagaimana guru akan menyelenggarakan kegiatan laboratorium inkuiri bila mereka belum menguasai keterampilan yang diperlukannya. Sebaliknya, guru yang memiliki kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri pun belum tentu melaksanakannya apabila tidak ada motivasi yang dapat mempengaruhinya. Jadi paling tidak ada dua faktor utama yang dapat mempengaruhi guru untuk mengembangkan kegiatan laboratorium inkuiri, yaitu faktor kemampuan dan kemauan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan fisika paling tidak diperlukan dua hal seperti berikut.

Pertama, peningkatan mutu guru, terutama dalam hal berkaitan dengan peningkatan kemampuan merancang dan menyelenggarakan kegiatan laboratorium berbasis inkuiri. Kedua, penciptaan kondisi yang mampu meningkatkan dan menjaga motivasi guru agar selalu mengupayakan pembelajaran fisika yang bermutu. 

Bertolak dari dua hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada masalah peningkatan mutu guru fisika, dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa calon guru (pre-service) dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Upaya ini penting untuk dilakukan, karena salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan laboratorium adalah guru (Lazarowitz dan Tamir, 1994), dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola laboratorium berpengaruh positif terhadap frekuensi penggunaan laboratorium (Rustad dkk., 2004; Sriyono dan Hamid, 2003).

2.  Metode  Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Negeri Semarang. Subjek penelitian adalah semua mahasiswa semester lima Program Studi S1 Pendidikan Fisika peserta mata kuliah Laboratorium Fisika Pendidikan pada tahun akademik 2004/2005. Subjek penelitian berjumlah 40 mahasiswa, terdiri atas 12 laki-laki dan 28 perempuan.

Kemampuan merancang kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri dijabarkan menjadi tujuh aspek kemampuan pendukung. Penjabaran itu dilakukan dengan cara mengidentifikasi unjuk kerja yang dianggap terbaik untuk mendukung kemampuan dalam merancang kegiatan laboratorium berbasis inkuiri. Tabel 1 menunjukkan aspek kemampuan yang dikembangkan, indikator, dan instrumen evaluasinya.
Tabel 1.  Komponen Kemampuan yang Dikembangkan

No
Kemampuan
Indikator
Instrumen Evaluasi
1
Menentukan tujuan kegiatan laboratorium
1.a Menetapkan kemampuan yang diharapkan dicapai siswa
1.b Menetapkan indikator
- Lembar penyekoran hasil rancangan
2
Menentukan jenis  percobaan yang sesuai dengan tujuan
2.a Mengidentifikasi jenis-jenis percobaan kemudian memilih percob yang paling sesuai
2.b Mengungkap dasar teori percobaan
2.c Mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan percob yang dipilih
- Lembar penyekoran hasil rancangan
3
Mengenali alat-alat laboratorium
3.a Mengenali alat dan bahan percobaan
3.b Menentukan spesifikasi alat dan bahan
- Lembar penyekoran hasil rancangan
4
Mengenali rangkaian percob dan diagramnya
4.a Mengenali simbol alat dan bahan lab
4.b Menggambarkan diagram rangkaian percobaan
- Lembar penyekoran hasil rancangan
5
Merencanakan prosedur percob
5.a Mengungkap gejala dan merumuskan masalah
5.b Mengajukan hipotesis
5.c Merancang prosedur percob untuk menguji hipotesis dan memprediksikan hasilnya
- Lembar penyekoran hasil rancangan

6
Menyusun LKS berbasis inkuiri
6.a Membuat pertanyaan-pertanyaan penuntun bagi siswa untuk melakukan kegiatan lab inkuiri
- Lembar penyekoran hasil rancangan
7
Merancang alat evaluasi kegiatan laboratorium
7.a Membuat kisi-kisi evaluasi
7.b Menentukan teknik evaluasi
7.c Menyusun instrumen evaluasi
- Lembar penyekoran hasil rancangan


Peningkatan komponen kemampuan-kemampuan yang dikembangkan pada Tabel 1 di atas, dikategorikan berdasarkan gain score ternomalisasi  (gn ) yang dikembangkan oleh  Savinainen & Scott (2002) yang dirumusakan sebagai berikut.

                  



Dengan gn = gain score ternormalisasi;     Xpost = skor post-test : Xpre= skor pre-test;  Xmax = skor maksimum. Kategori kualitas gn adalah sebagai berikut.

                        Tinggi :    gn  > 0,7
Sedang:    0,3 < gn < 0,7
 Rendah     gn < 0,3

Dalam rangka mencapai ketujuh aspek kemampuan dengan indikator yang telah ditetapkan pada Tabel 1, dirancang strategi perkuliahan. Dari kajian literatur diperoleh informasi bahwa menurut teori pemodelan tingkah laku Bandura (1977), sebagian besar manusia belajar dilakukan dengan cara mengamati dan mengingat secara selektif tingkah laku orang lain. Implikasinya, untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri diperlukan kegiatan yang dapat dijadikan contoh bagi mereka kelak kalau sudah menjadi guru. Berdasarkan pertimbangan itu, perkuliahan Laboratorium Fisika Pendidikan diselenggarakan dengan struktur terdiri dari tiga tahap, yaitu: pemodelan, perancangan, implementasi.

Pada tahap pemodelan, mahasiswa mengerjakan dua contoh kegiatan laboratorium inkuiri dipandu dengan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) yang dirancang oleh peneliti. Uji coba LKM dilakukan secara bertingkat, yaitu pada individu, kelompok kecil (6 mahasiswa),  dan kelas.  

Pada tahap perancangan, mahasiswa secara individual membuat dua rancangan kegiatan laboratorium inkuiri, yang terdiri dari tiga perangkat yaitu: Lembar Panduan untuk Guru (LPG), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Lembar Evaluasi. Mahasiswa juga mengujicobakan sendiri kegiatan laboratorium yang dirancangnya. Semua perangkat kegiatan laboratorium yang disusun oleh mahasiswa itu dievaluasi menggunakan instrumen lembar penyekoran yang dikembangkan dengan mengacu pada aspek-aspek kemampuan dan indikatornya (Tabel 1). Selain itu, data atau informasi pendukung diungkap melalui wawancara dan pengamatan yang dilakukan selama perkuliahan. 

Pada tahap implementasi, mahasiswa mengimplementasikan hasil rancangannya dalam simulasi pembelajaran, dengan mahasiswa lain berperan sebagai siswa. Semua mahasiswa diwajibkan mengimplementasikan hasil rancangannnya, tetapi pada tahap ini tidak dilakukan penilaian.

3.  Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1  Pelaksanaan Contoh Kegiatan Laboratorium Inkuiri
Uji coba LKM pada individu dan kelompok kecil (6 mahasiswa) menghasilkan masukan sebagai berikut. Pertama, uji coba pada individu menghasilkan masukan terutama tentang keterbacaan LKM. Masukan itu, kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan redaksional. Kedua, hasil uji coba pada individu dan kelompok kecil menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan pada LKM sudah dapat membimbing mahasiswa untuk merumuskan masalah dan mengajukan hipotesisnya, tetapi mereka belum dapat merancang sendiri prosedur percobaan untuk menguji hipotesis. Masukan tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan merinci pertanyaan-pertanyaan penuntun sehingga LKM menjadi lebih bersifat guided inquiry.

Walaupun LKM diperbaiki menjadi lebih rinci, tetapi agar tidak menutup kesempatan bagi mahasiswa yang mampu mengerjakan masalah yang bersifat terbuka, maka akhirnya setiap LKM dibuat terdiri atas dua bagian utama. Bagian pertama, cenderung open inquiry dan bagian kedua, cenderung guided inquiry.

LKM bagian pertama, diawali dengan kegiatan untuk menunjukkan suatu gejala fisika yang menuntut mahasiswa untuk menggali sendiri pertanyaan. Jika tidak memungkinkan, kegiatan awal dilakukan dengan cara dosen memunculkan pertanyaan yang membangkitkan keinginan mahasiswa untuk menyelidiki jawabannya. Selanjutnya, mahasiswa dibimbing melalui pertanyaan-pertanyaan dalam LKM untuk merencanakan prosedur percobaan yang meliputi langkah: memikirkan hipotesis dari setiap pertanyaan, memikirkan percobaan untuk menguji setiap hipotesis (termasuk mengidentifikasikan variabel dan langkah kerja untuk pengumpulan data), dan memperkirakan hasil yang diharapkan jika percobaan itu direalisasikan.

Jika mahasiswa dapat menjawab semua pertanyaan itu, maka mereka dapat melanjutkan percobaan secara berkelompok (2-3 mahasiswa) dengan prosedur yang telah dirancangnya sendiri. Mahasiswa yang tidak dapat menjawabnya secara lancar dianjurkan melanjutkan percobaan menggunakan LKM bagian kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan penuntun yang lebih rinci.

Ada dua contoh kegiatan laboratorium inkuiri yang dikerjakan oleh setiap mahasiswa. Pada contoh pertama, karena rata-rata mahasiswa kurang lancar dalam merencanakan prosedur percobaan, maka semua mahasiswa mengerjakan percobaan menggunakan petunjuk pada LKM bagian kedua, sedangkan pada contoh kedua mereka melaksanakan percobaan menggunakan prosedur  yang direncanakannya sendiri.

3.2  Hasil Rancangan Kegiatan Laboratorium Inkuiri
Setelah mengerjakan dua contoh percobaan fisika berbasis inkuiri, tahap berikutnya mahasiswa secara individual menyusun dua rancangan kegiatan laboratorium inkuiri dan mengujicobakannya sendiri, kemudian mengimplementasikan rancangan itu kepada temannya. Hasil rancangan itu dievaluasi dengan mengacu pada tujuh aspek kemampuan yang diperlukan dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Tabel 2 memuat skor rata-rata kelas untuk setiap aspek kemampuan itu.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada hasil rancangan pertama, kemampuan merancang alat evaluasi kegiatan laboratorium masih rendah. Sebagian besar mahasiswa membuat butir-butir evaluasi tidak diawali dengan menyusun kisi-kisi. Akibatnya, ada beberapa tujuan atau kompetensi yang diharapkan dicapai siswa terlewat tidak dievaluasi, dan ada juga butir-butir evaluasi yang tidak mengevaluasi kompetensi yang diharapkan. Pada enam aspek kemampuan lainnya, yaitu (1) menentukan tujuan kegiatan laboratorium, (2) menentukan jenis percobaan, (3) menentukan alat dan bahan laboratorium, (4) menentukan rangkaian percobaan dan menggambarkan diagramnya, (5) merencanakan sendiri prosedur percobaan, dan (6) menyusun LKS berbasis inkuiri, sudah menunjukkan skor yang cukup baik.

Tabel 2.Kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri
No
Aspek Kemampuan yang Diskor
Skor  Rancangan
g
gn
(%)
t
I
II
1

2

3

4
5
6
7
Menentukan tujuan penyelenggaraan kegiatan laboratorium bagi siswa
Mengidentifikasi jenis-jenis percobaan, dasar teorinya, dan memilih jenis percob yang sesuai dengan tujuan
Menentukan alat dan bahan lab sesuai spesifikasi yang dibutuhkan
Menentukan rangkaian percob dan diagramnya
Merencanakan prosedur percobaan
Menyusun petunjuk kegiatan lab berbentuk LKS inkuiri
Merancang alat evaluasi kegiatan laboratorium
71

60

71

76
60
81
47
88

75

82

84
71
85
71
17

15

11

8
11
4
24
58

39

38

35
28
19
45
9*)

14*)

10*)

4*)
10*)
4*)
22*)
Rata-rata keseluruhan
Simpangan baku
66
8
79
7
13
4
39
11
21*)
*) signifikan pada α < 0,01

Secara keseluruhan, pada rancangan pertama yang disusun setelah mahasiswa mengerjakan contoh percobaan fisika berbasis inkuiri, skor rata-rata kelasnya sudah cukup baik, yaitu sekitar 66. Hasil tersebut menjadi indikator bahwa dua contoh percobaan inkuiri yang telah dikerjakannya dapat membekali kemampuan mahasiswa dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Interpretasi itu didukung oleh pendapat sebagian besar mahasiswa yang menyatakan bahwa pengalaman mengerjakan contoh sangat membantu dalam proses pembuatan rancangan.

Pada rancangan kedua, skor rata-rata kelas meningkat secara signifikan pada taraf signifikansi α < 0,01 dengan gain ternormalisasi sebesar 39% yang termasuk dalam kategori sedang (Savinainen & Scott, 2002). Peningkatan itu menunjukkan bahwa penerapan perkuliahan yang dirancang pada penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam merancang kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri.

Informasi lain menunjukkan bahwa pada awal perkuliahan semua mahasiswa menyatakan belum pernah mengerjakan kegiatan laboratorium inkuiri, dan sebagian besar (sekitar 80%) mahasiswa menyatakan tertarik untuk mempelajari kegiatan laboratorium inkuiri setelah kegiatan itu diperkenalkan kepada mereka pada tahap pemodelan. Dengan demikian, persoalan yang harus terus dipikirkan dari tahun ke tahun pada setiap penerapan perkuliahan ini adalah bagaimana memperbarui contoh kegiatan laboratorium inkuiri yang akan diperkenalkan pada tahap pemodelan agar mahasiswa merasa terlibat dalam kegiatan inkuiri ilmiah, sehingga mereka dapat merasakan sendiri keunggulan dari kegiatan laboratorium itu. Selain itu, persoalan yang harus ditindaklanjuti adalah bagaimana memperkenalkan kegiatan laboratorium inkuiri sedini mungkin.

Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri diperoleh mahasiswa sejak tahap pemodelan. Pada tahap pemodelan mahasiswa berkesempatan mengerjakan dua contoh percobaan inkuiri, dilanjutkan pada tahap perancangan mahasiswa berkesempatan untuk merancang dua kegiatan laboratorium inkuiri dan mengujicobanya sendiri.

Dalam proses pembuatan rancangan kegiatan laboratorium inkuiri, sebagian besar (sekitar 85%) mahasiswa melakukannya dengan cara mencari jenis percobaan terlebih dahulu, kemudian menyesuaikannya dengan tujuan atau kompetensi yang tercantum pada kurikulum. Sebagian kecil (sekitar 15%) mahasiswa mengawali kegiatan merancang dengan mempelajari kompetensi yang diharapkan dicapai siswa, dilanjutkan dengan mengidentifikasi jenis percobaan untuk mencapai kompetensi itu. Pola yang disebutkan terakhir itu, lebih menuntut mahasiswa untuk berpikir kreatif dalam mempertanyakan dan mencari jenis percobaan yang paling sesuai serta menentukan spesifikasi peralatan yang dibutuhkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mahasiswa yang bekerja dengan pola kedua itu umumnya memiliki kebiasaan bertanya dalam setiap kesempatan berdiskusi

Untuk mengubah kebiasaan berpikir dengan pola pertama menjadi pola kedua diperlukan latihan. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membuat program lanjutan yang dapat memotivasi mahasiswa untuk menerapkan atau mengembangkan kemampuan merancang kegiatan laboratorium inkuiri yang telah diperolehnya dari perkuliahan ini.

Keseluruhan pembahasan tadi juga menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan mahasiswa calon guru dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri sesuai dengan empat kriteria pemilihan keterampilan yang dikemukakan oleh Reif dan St. John (Lippmann, 2003). Pertama, kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri berguna di masa datang, seperti pada saat pembuatan skripsi, PPL, dan kelak ketika menjadi guru. Kedua, kemampuan berinkuiri ilmiah biasa dilakukan oleh ilmuwan. Ketiga, pada awalnya sebagian besar mahasiswa belum memiliki kemampuan itu. Keempat, kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri lebih tepat bila dibelajarkan dalam konteks laboratorium.

4.  Penutup
Berdasarkan pembahasan tadi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Penyelenggaraan model (contoh) percobaan telah memberikan pengalaman langsung tentang kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri bagi mahasiswa calon guru, sehingga pemahaman mereka tentang hal itu dapat meningkat. Pengalaman langsung itu juga mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam berlatih merancang kegiatan laboratorium inkuiri. Desain perkuliahan yang diterapkan pada penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam (1) menentukan tujuan penyelenggaraan kegiatan laboratorium yang dirancangnya, (2) menentukan jenis percobaan yang sesuai dengan tujuan, (3) menentukan alat-alat dan bahan-bahan laboratorium sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan, (4) menentukan rangkaian percobaan dan menggambarkan diagramnya, (5) merencanakan sendiri prosedur percobaan, (6) menyusun lembar kegiatan siswa (LKS) berbasis inkuiri, dan (7) merancang evaluasi kegiatan laboratorium. Penguasaan ketujuh aspek kemampuan itu, dibutuhkan dalam merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium inkuiri. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa penerapan perkuliahan Laboratorium Fisika Pendidikan yang didesain terdiri dari tiga tahap, yaitu pemodelan, perancangan, dan implementasi, pada penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa calon guru dalam merancang kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri.

Untuk lebih mendukung upaya membekali mahasiswa dengan kemampuan merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri, maka disarankan kegiatan laboratorium tersebut mulai diperkenalkan kepada mahasiswa pada perkuliahan Fisika Dasar yang diselenggarakan pada tahun pertama dan ditindaklanjuti pada mata kuliah lain yang terkait seperti pada mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan dan Skripsi.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. New York: Prentice-Hall, Inc.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (1995). Evaluasi Efektivitas Pengadaan Alat IPA. Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Heuvelen, A.A. (2001). “Millikan Lecture 1999: The Workplace, Student Minds, and Physics Learning Systems.” Am. J. Phys. 69(11), 1139-1146.
Jurusan Fisika. (2000). Kurikulum Program Studi Pendidikan Fisika. Semarang: Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
Lawson, A.E. (1995). Science Teaching and the Development of Thinking. California: Wadsworth Publishing Company.
Lazarowitz, R. & P. Tamir. (1994). “Research on Using Laboratory Instruction in Science.” Handbook of Research on Science Teaching and Learning. Edited by: D. L. Gabel. New York: Macmillan Publishing Company.
Lippmann, R.F. (2003). Students' Understanding of Measurement and Uncertainty in the Physics Laboratory: Social construction, underlying concepts, and quantitative analysis. Maryland: Department of Physics, University of Maryland.  Tersedia: http://www.physics.umd.edu/ perg/dissertation/lippmann. html [25 September 2003].
McDermott, L.C., P.S. Shafer, and M.L. Rosenquist. (1996a). Physics by Inquiry. Volume I. New York: John Wiley & Sons, Inc.
McDermott, L.C., P.S. Shafer, and M.L. Rosenquist. (1996b). Physics by Inquiry. Volume II. New York: John Wiley & Sons, Inc.
McDermott, L.C., P.S. Shafer and C.P. Constantinou. (2000). “Preparing teachers to teach physics and physical science by inquiry.” Phys. Educ. 35(6), 411-416.
Nur, M. (2004.) “Penerapan Ide-ide Inovatif Pendidikan MIPA dalam Seting Penelitian.” Makalah dipresentasikan pada Seminar Naional 

Ditulis oleh: Wiyanto (Jur. Fisika F.MIPA UNS)

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar